kamera cctv

Senin, 18 Februari 2013

KUMPULAN PERKARA KORUPSI


Penyusun
2. Zainuri Hamzah
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
a)      Kumpulan perkara korupsi (kpk)
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik yang memprihatinkan.
Mengantisipasi tantangan ke depan yang semakin kompleks, diperlukan
upaya pemberantasan korupsi yang komprehensif dan sistematis, dengan pelibatan
seluruh potensi komponen bangsa, sehingga KPK perlu memiliki suatu perencanaan
strategis jangka panjang dalam bentuk Road Map KPK dalam Pemberantasan
Korupsi di Indonesia 2011-2023 (selanjutnya disingkat Road Map KPK). Road Map
KPK dimaksudkan untuk memberi arah pemberantasan korupsi yang akan
dilakukan KPK dalam jangka panjang (sampai dengan 2023). Keberadaan Road Map
KPK menjadi penting karena dokumen perencanaan yang telah ada terbatas hanya
mencakup strategi jangka menengah (Rencana Strategis yang berjangka waktu lima
tahunan) dan jangka pendek (Rencana Kinerja dan Anggaran yang berjangka waktu
tahunan).
Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar sehingga
diperlukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif, dan fokus.
Sesuai amanat Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut, KPK mengambil
peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi dengan melibatkan institusi
penegak hukum lainnya serta lembaga pemerintah ditambah lembaga-lembaga
swadaya masyarakat lainnya. Dalam rangka optimalisasi pemberantasan korupsi
maka perlu dilakukan koordinasi secara intensif. Koordinasi akan berjalan secara
optimal ketika semua pihak memiliki Road Map masing-masing namun tetap
merupakan bagian dari upaya nasional terkait pemberantasan korupsi secara
terintegrasi.[1]
b)      Mahkamah Konstitusi
Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).[2]
B.     Rumusan masalah
Dalam rumusan masalah, saya dapat menarik beberapa point penting yang akan kami bahas dalam makalah ini,
a.       Apa peran dan fungsi KPK dan MK ?
b.      Mengetahui asal usul/sejarah KPK dan MK ?
 \
BAB II
PENJELASAN

A.    Kumpulan perkara korupsi (kpk)
Korupsi berawal dari bahasa latin ”corruption” atau “corruptus”. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.
Selama ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.
Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.
Akan tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.




a.       Sejarah KPK
1.      Pada masa Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggung jawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
2.      Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
3.      Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung.
Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
4.      Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[3] Dan KPK Dibentuk pada 29 Desember 2003 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b.      Fungsi & Tugas KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
Ø  Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø  Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø  Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
Ø  Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
Ø  Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
Ø  Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
Ø  Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø  Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
Ø  Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
Ø  Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.[4]



c.       Peran KPK
Peran KPK tidak hanya menindak koruptor di dalam negeri, tapi juga membantu negara internasional memerangi korupsi di antaranya membantu negara lain mengungkap skandal korupsi di negara tersebut.
Peran KPK dalam pemberantasan penyuapan pejabat asing atau orang asing dalam bentuk mengungkap kasus yang ada di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar, Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau, dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi yang sudah sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain, KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.
State capture bisa dilihat pada aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik. Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi kekayaan.[5]
Namun, sayangnya, hingga saat inipun setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya. Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang sedemikian banyak.
B.     Mahkamah Konstitusi
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi. Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam2 banyak dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum begitu dikenal oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang terkait dengan MK dan segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan. Tulisan berikut ini bermaksud mengemukakan kedudukan, fungsi dan peran MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.[6]
a.       Sejarah Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam pasal 24 ayat (2), pasal 24C, dan pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ssetelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sebagaimana diatur dalam pasal III aturan peralihan UUD 1945 hasil perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tantang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam , DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi pada 13 agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi diistana Negara pada tanggal 16 agustus 2003.
Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama adalah Prof. dr . jimli Asshiddiqie SH. Guru Besar hukum tata Negara Unoversitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antara anggota hukum Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Perbandingan MK dengan Negara lain.[7]
b.      Peran Dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Fungsi dan peran utama MK adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu :
v  memutus sengketa antarlembaga negara,
v  memutus pembubaran partai politik, dan
v   memutus sengketa hasil pemilu.
Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1)      Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2)      Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
3)      Memutus pembubaran partai politik
4)      Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.[8]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari peran dan fungsi kumpulan perkara korupsi (KPK), bahwa menegagkan hokum, atau memberantas tindak pidana korupsi, yang mana pada di Negara Indonesia sudah meraja rela.
Dan dari peran dan fungsi mahkamah konstitusi (MK), menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi



[1] www.kpk.go.id
[2] http://id.wikipedia.org

[3] http://id.wikipedia.org

[4] http://cicakbekasi.wordpress.com/kpk/fungsi-tugas-kpk/

[5] Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas Korupsi

[6] http://id.wikipedia.org
[7] http://dayad-polri.blogspot.com
[8] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id



kalau mau download lengkap powerpoint dan makalahnya agan tinggal Download aj si bawah ane sudah siapkan untuk agan-agan silahkan sedot .....
Download makalah KPK di sini
download Powerpoint KPK di sini
sekian dulu yah, terimakasih sudah berkunjung di blog hukum perdata islam kelas B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar