Penyusun
2. Zainuri Hamzah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
a) Kumpulan
perkara korupsi (kpk)
Lahirnya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didasarkan pada perkembangan pemikiran di
dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap
tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek
korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tak mengherankan jika hingga hari
ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial-ekonomi dan politik
yang memprihatinkan.
Mengantisipasi
tantangan ke depan yang semakin kompleks, diperlukan
upaya
pemberantasan korupsi yang komprehensif dan sistematis, dengan pelibatan
seluruh potensi
komponen bangsa, sehingga KPK perlu memiliki suatu perencanaan
strategis jangka
panjang dalam bentuk Road Map KPK dalam Pemberantasan
Korupsi di
Indonesia 2011-2023 (selanjutnya disingkat Road Map KPK). Road Map
KPK dimaksudkan
untuk memberi arah pemberantasan korupsi yang akan
dilakukan KPK
dalam jangka panjang (sampai dengan 2023). Keberadaan Road Map
KPK menjadi
penting karena dokumen perencanaan yang telah ada terbatas hanya
mencakup strategi
jangka menengah (Rencana Strategis yang berjangka waktu lima
tahunan) dan
jangka pendek (Rencana Kinerja dan Anggaran yang berjangka waktu
tahunan).
Karakteristik
korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar sehingga
diperlukan upaya
pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif, dan fokus.
Sesuai amanat
Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut, KPK mengambil
peran sebagai
pendorong pemberantasan korupsi dengan melibatkan institusi
penegak hukum
lainnya serta lembaga pemerintah ditambah lembaga-lembaga
swadaya
masyarakat lainnya. Dalam rangka optimalisasi pemberantasan korupsi
maka perlu
dilakukan koordinasi secara intensif. Koordinasi akan berjalan secara
optimal ketika
semua pihak memiliki Road Map masing-masing namun tetap
merupakan bagian
dari upaya nasional terkait pemberantasan korupsi secara
terintegrasi.[1]
b)
Mahkamah Konstitusi
Lembaran awal sejarah praktik
pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di
Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John
Marshall dalam
kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi
Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial
review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah
jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John
Marshall menganggap
MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun
secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali
pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans
Kelsen (1881-1973). Hans
Kelsel
menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara
efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas
untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan
tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu
perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional
court).[2]
B.
Rumusan
masalah
Dalam
rumusan masalah, saya dapat menarik beberapa point penting yang akan kami bahas
dalam makalah ini,
a. Apa peran dan fungsi KPK dan MK ?
b. Mengetahui asal usul/sejarah KPK dan
MK ?
\
BAB II
PENJELASAN
A.
Kumpulan perkara korupsi (kpk)
Korupsi
berawal dari bahasa latin ”corruption” atau “corruptus”. Corruptio berasal dari
kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah
turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis
yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda
inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.
Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang tinggi, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi. Secara langsung ataupun tidak, keadaan di atas disebabkan oleh korupsi yang sudah telanjur mewabah. Korupsi telah membuat lumpuh sebagian besar daya dan kekuatan yang dimiliki bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.
Selama
ini, program pemberantasan korupsi melalui pendekatan konvensional telah
divonis gagal dalam mengurangi tingginya korupsi yang terjadi. Kegagalan demi
kegagalan dalam memberantas korupsi menumbuhkan sebuah keyakinan bahwa, dalam
sebuah sistem tempat korupsi telah menjadi endemik, mekanisme penegakan hukum
yang biasa hanya akan menutupi pejabat negara yang korup.
Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.
Institusi penegak hukum konvensional yang bertindak menegakkan hukum semakin tidak berdaya dalam mendeteksi dan menuntut kasus-kasus korupsi yang kian kompleks. Bahkan institusi-institusi tersebut telah menjadi bagian dari mata rantai korupsi yang merajalela. Karena itu, kehadiran KPK seharusnya merupakan sebuah jawaban bagi deadlock-nya upaya melawan korupsi.
Akan
tetapi, berdasarkan hasil evaluasi ICW terhadap kinerja institusi KPK selama
kurun waktu 2003-2007 dalam memberantas korupsi, terdapat berbagai kelemahan
yang ditemukan. Salah satu yang mendasar adalah tidak mencukupinya basis analisis
untuk melihat akar dan problematika korupsi itu sendiri. Sehingga desain
kebijakan dan program pemberantasan korupsi yang dikembangkan oleh KPK dirasa
kurang efektif, efisien, relevan, dan berkelanjutan.
a.
Sejarah KPK
1. Pada masa Orde
Lama
Kabinet
Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali
dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggung
jawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada
Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran
berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
2. Operasi
Budhi
Pada
1963, melalui Keputusan
Presiden No. 275
Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo
dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi
alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)
dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan
lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
3. Orde Baru
Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan
demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar
seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa
Agung.
Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan
Soeharto untuk menunjuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof
Johannes, I.J. Kasimo, Mr
Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto,
dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat
tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana
Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi
Tertib (Opstib)
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down
di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
4. Era
Reformasi
Di era reformasi, usaha
pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.[3]
Dan KPK Dibentuk pada 29 Desember 2003 melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
b.
Fungsi & Tugas KPK
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
Ø Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø Melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
Ø Melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi; dan
Ø Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam
melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
Ø Mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
Ø Menetapkan sistem pelaporan dalam
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Ø Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
Ø Melaksanakan dengar pendapat atau
pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; dan
Ø Meminta laporan instansi terkait
mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.[4]
c.
Peran
KPK
Peran KPK tidak hanya menindak
koruptor di dalam negeri, tapi juga membantu negara internasional memerangi
korupsi di antaranya membantu negara lain mengungkap skandal korupsi di negara
tersebut.
Peran KPK dalam pemberantasan
penyuapan pejabat asing atau orang asing dalam bentuk mengungkap kasus yang ada
di negaranya.
Dalam analisis berbagai pakar,
Indonesia saat ini berada pada tipologi korupsi ketika state capture type of
corruption telah mendominasi ruang-ruang kebijakan publik, sementara korupsi
birokrasi juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dua keadaan ini
menyebabkan kita disandera oleh sistem yang teramat korup (UNDP, 2002). Atau,
dengan kata lain, tidak dapat berbuat apa pun untuk membenahi persoalan korupsi
yang sudah sedemikian pelik.
Sementara itu, di sisi yang lain,
KPK masih berkutat pada penanganan korupsi yang bertipologi petty
administrative corruption. Karena itu, proses hukum atas kasus-kasus korupsi
yang ditangani KPK tidak memiliki dampak yang berarti, karena hilangnya nilai
strategis dari sebuah kasus korupsi yang ditangani. Nilai strategis itu dilihat
dalam dua pendekatan, yakni sumber korupsi yang selama ini menjerat bangsa
Indonesia dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik, serta dampak
langsung pemberantasan korupsi dalam bentuk pembenahan sistem yang rentan
terhadap korupsi setelah penegakan hukum dilakukan.
State capture bisa dilihat pada
aktor utama pelaku korupsinya, yakni pejabat politik, pejabat negara, dan
kalangan swasta/pengusaha yang berkolusi menyalahgunakan kewenangan dan
kekuasaan negara/publik. Aktor inilah yang menciptakan sebuah kondisi negara
yang terus-menerus tersandera oleh ketidakberdayaan sosial-ekonomi dan politik.
Di samping karena kerugian negara
dan masyarakat yang dapat mencapai triliunan rupiah, state capture telah
menciptakan monopoli dalam penguasaan dan alokasi sumber daya ekonomi publik.
Melalui praktek komunikasi dan lobi secara informal, tertutup dengan contact
person di level tinggi, state captors bekerja mempengaruhi kebijakan publik
yang dapat menguntungkan aktor-aktornya. Pendek kata, dalam korupsi bertipologi
state capture, kebijakan publik merupakan arena transaksi dan sumber akumulasi
kekayaan.[5]
Namun, sayangnya, hingga saat inipun
setelah KPK lahir, aktor-aktor state capture masih tetap tidak tersentuh. KPK
masih sebatas menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah,
pejabat eselon, dan pemimpin proyek--yang sebagian besar korupsinya terjadi di
sektor pengadaan barang dan jasa. Barangkali sektor ini memang rawan terhadap
korupsi. Tapi berbagai sektor lain, tempat sumber ekonomi publik yang demikian
besar dikelola, seharusnya menjadi pilihan-pilihan yang strategis untuk
dihantam.
Memang KPK tidak didesain untuk
menegakkan hukum korupsi di semua lini. Karena itu, seharusnya pilihan dalam
membidik sebuah kasus korupsi harus didasarkan pada pertimbangan strategisnya.
Terutama pada titik di mana kejaksaan dan kepolisian memiliki hambatan politik
untuk menanganinya. Jika KPK menangani perkara korupsi yang sederajat dengan
kualitas perkara milik kejaksaan dan kepolisian, hal ini justru hanya akan
menimbulkan naiknya ongkos dalam memberantas korupsi.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Supaya KPK dapat terfokus pada kasus-kasus korupsi yang memiliki spektrum politik besar, sekaligus memiliki dampak terhadap perbaikan ekonomi dan pelayanan publik, mekanisme supervisi dan koordinasi harus dioptimalkan. Mengingat banyak kasus korupsi birokratis yang ditangani kejaksaan dan kepolisian mengalami kemacetan, KPK harus mengawasi secara serius proses penegakan hukumnya. Dengan kewenangan itu, diharapkan penanganan kasus-kasus korupsi birokrasi, yang selama ini menjadi tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian, menjadi lebih efisien dan tidak koruptif.
Selama ini tidak dapat dimungkiri
bahwa terdapat penambahan jumlah kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian
setelah mekanisme supervisi dan koordinasi dilakukan KPK, tapi hal itu tidak
mengurangi praktek korupsi dalam penanganan kasus korupsi. Karena itu, untuk
mendorong proses penegakan hukum pada tingkat kejaksaan dan kepolisian, KPK
seharusnya memulai upaya pemberantasan korupsi dengan melakukan pembersihan
pada tubuh aparat penegak hukum. Upaya membersihkan kejaksaan dan kepolisian
akan sangat membantu KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang
sedemikian banyak.
B. Mahkamah Konstitusi
Paradigma
susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi
konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan kebutuhan,
lembaga-lembaga negara baru dibentuk,meskipun ada juga lembaga yang dihapuskan.
Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK didesain
menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui
putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, MK berupaya
mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai
amanat konstitusi. Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam2 banyak
dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan
mengembangkan demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum
begitu dikenal oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang
terkait dengan MK dan segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh
masyarakat. Sejalan dengan misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia
serta budaya sadar berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan.
Tulisan berikut ini bermaksud mengemukakan kedudukan, fungsi dan peran MK dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.[6]
a.
Sejarah Mahkamah Konstitusi
Sejarah
berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945
dalam pasal 24 ayat (2), pasal 24C, dan pasal 7B yang disahkan pada 9 November
2001. Ssetelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka
menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung
menjalankan fungsi MK untuk sebagaimana diatur dalam pasal III aturan peralihan
UUD 1945 hasil perubahan Keempat.
DPR
dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang tantang Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam , DPR dan Pemerintah menyetujui
secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi
pada 13 agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari
kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para
hakim konstitusi diistana Negara pada tanggal 16 agustus 2003.
Ketua
Mahkamah Konstitusi RI yang pertama adalah Prof. dr . jimli Asshiddiqie SH.
Guru Besar hukum tata Negara Unoversitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini
terpilih pada rapat internal antara anggota hukum Mahkamah Konstitusi tanggal
19 Agustus 2003.
Perbandingan MK dengan Negara lain.[7]
Perbandingan MK dengan Negara lain.[7]
b.
Peran Dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Fungsi dan peran utama MK adalah menjaga konstitusi guna
tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi
negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam
sistem ketatanegaraannya.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu :
v memutus sengketa antarlembaga negara,
v memutus pembubaran partai politik, dan
v memutus sengketa hasil
pemilu.
Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya
mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang
tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil
pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam
itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem
politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi
penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan
dengan kewenangan MK.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan
konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban
konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1)
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2)
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
3) Memutus
pembubaran partai politik
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari peran dan fungsi
kumpulan perkara korupsi (KPK), bahwa menegagkan hokum, atau memberantas tindak
pidana korupsi, yang mana pada di Negara Indonesia sudah meraja rela.
Dan dari peran dan
fungsi mahkamah konstitusi (MK), menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas
hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir
pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK
‘Mengenali dan Memberantas Korupsi
[1] www.kpk.go.id
[2] http://id.wikipedia.org
[3] http://id.wikipedia.org
[4] http://cicakbekasi.wordpress.com/kpk/fungsi-tugas-kpk/
[5]
Andi Hamzah, Pemberantasan. Korupsi 2005 buku KPK ‘Mengenali dan Memberantas
Korupsi
[6] http://id.wikipedia.org
[7] http://dayad-polri.blogspot.com
[8] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar