kamera cctv

Senin, 18 Februari 2013

HISBAH DAN MADZALIM


kali saya akan shere makalah tentang hisbah dan madzalim, yang di susun oleh : 1. madirah sabibi dan zainuri hamzah
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Hisbah adalah sebuah institusi keagamaan di bawah kendali pemerintahan yang mengawasi masyarakat agar menjalankan kewajibannya dengan baik, ketika masyarakat mulai untuk mengacuhkannya dan melarang masyarakat melakukan hal yang salah, saat masyarakat mulai terbiasa dengan kesalahan itu.Tujuan umumnya adalah untuk menjaga lingkungan masyarakat dari kerusakan, menjaga takdir yang ada, dan memastikan kesejahteraan masyarakat baik dalam hal keagamaan ataupun tingkah laku sehari-hari sesuai dengan hukum Allah.
Upaya Negara untuk mejamin kemaslahatan, keadilan, dan permainan jujur disemua lini kehidupan direfleksikan dalam institusi hisbah,Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi dengan bebas sehingga harga, upah, dan laba dapat ditentukan oleh kekuasaan permintaan dan penawaran (yang terjadi juga dinegara kapitalis ), melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya antara satu dengan yang lain dan mematuhi ketentuan syariat. Setiap tindakan kehati-hatian perlu diambil untuk menjamin bahwa tidak ada pemaksaan, penipuan, pemanfaatan kesempatan dalam kesempitan,  atau pengabaiaan terhadap pihak yang melakukan akad, dan tidak ada penimbunan dan perusakan pasokan dengan tujuan menaikkan harga.
Sama halnya dengan wilayah al-madzalim Dengan kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan hisbah dan madzalim ?

2.      Apa saja tujuan dari hisbah dan madzalim ?
3.      Apa saja tugas dari hisbah dan madzalim ?

C.    Tujuan

1.      untuk mengetahui devinisi dari hisbah dan madzalim

2.      Untuk memahami hal-hal apa saja yang termasuk hisbah dan madzalim
 BAB II

PEMBAHASAN

A.    HISBAH
a)      Pengertian Hisbah
[1]Wilayah Al-Hisbah berasal dari kata al- Wilayah yang berarti kekuasaan
atau kewenangan. Dan Al-Hisbah berarti imbalan, pengujian melakukan suatu
perbuatan dengan penuh perhitungan.
Upaya pendefinisian Wilayah Al-Hisbah telah banyak dilakukan seperti
yang dikutip oleh al-Farakhi, yaitu menyuruh berbuat baik apabila nyata
perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata
perbuatan itu dikerjakan. Ini mengindikasikan Wilayah al-Hisbah merupakan
jabatan keagamaan yang mencakup menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat
mungkar.
Definisi berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah dengan menambahkan
dalam definisi Wilayah al-Hisbah yang kewenangannya tidak termasuk dalam
wewenang penguasa, peradilan biasa dan Wilayah al-Mazalim.
[2]Hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan ditinggalkan
(tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran
dikerjakan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an. Qs: al-Imron: 104.
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat di atas telah menjelaskan bahwa setiap muslim memiliki peran aktif dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar. Namun demikian menurut kesepakatan ulama’ fiqh, bentuk kewajiban amar ma’rūf nahi munkar merupakan kewajiban kolektif bagi umat Islam (wajib kifayah). Maka apabila tugas amar ma’ruf nahi munkar dilaksanakan oleh seorang atau sebagian orang maka kewajiban itu gugur dari orang yang tidak melaksanakannya.Jika ternyata tidak ada seorangpun yang mampu melaksanakannya, maka perintah tersebut menjadi wajib‘ain (inperatif) bagi pihak yang mampu melaksanakannya.
Hisbah secara etimologi dan terminology berkisar pada memeritahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Misalnya si Fulan melakukan hisbah terhadap si Fulan; artinya mengingkari perbuatannya yang buruk. Sedangkan makna terminologis hisbah adalah, memerintahkan kebaikan apabila ada yang meninggalkannya, danmelarang kemungkaran apabila ada yang melakukannya.
Hisbah adalah cara terpenting dalam pengawasan terhadap kehidupan ekonomi, dimana kami dapatkan bahwa Umar RA melakukan peran sebagai muhtasib (pengawas), dan mengawasi uamt siang dan malam, membawa tongkat, dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melakukan malam, membawa tongkat, dan berkeliling ke pasar-pasar untuk melaakukan pengawasan terhadap perilaku dan kegiatan-orang-orang.
b)     Sejarah Hisbah
[3]Negara telah diperintahkan agar melembagakan ketetapan-ketetapan untuk mengawasi penerapan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini dapat dilihat pada masa rasulullah di samping memperhatikan akhlak yang mulia, nabi saw juga memperhatikan pelembagaan penegakan dan pelestarian dengan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam sejumlah hadist nabi diriwayatkan selalu menekankan peran ini bagi setiap muslim. Beliau sendiri, seringkali melakukan inspeksi pasar untuk meninjau apakah para pedagang melakukan kecrangan atau tidak, setiap kali beliau menemukan orang yang melakukan kecurangan, beliau pasti melarangnya. Tugas ini beliau emban baik dalam kapasitasnya sebagai nabi maupun sebagai kepala Negara. Dalam hal ini nabi disebut sebagai al-Muhtasib pertama dalam sejarah Islam. Selanjutnya, ketika tugas-tugas pribadi beliau semakin bertambah, beliau menunjuk sahabat Sa’ad ibn al-‘Ash ibn Umayyah sebagai al-Muhtasib di Makkah dan Umar Bin Khattab di Madinah.Tindakan Rasulullah Saw Dalam Mendelegasikan Tugas Al-Hisbah kepada para sahabat dianggap oleh ulama’ fiqh sebagai ikal bakal Wilayah al-Hisbah. Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa yang dilakukan rasulullah saw terhadap pelanggar kasus al-Hisbah kepada sahabat memebrikan isyarat bahwa kasus-kasus yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar perlu ditangani secara serius.
Penanganan kasus al-Hisbah di zaman Abu Bakar as-Siddiq (573-634) tetap berjalan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW, sekalipun kadangkadang didelegasikan kepada Umar bin Khattab (581-644). Pada zaman Umar bin Khattab sebagai khalifah, pembagian wewenang peradilan secara tegas mulai dilakukan. Untuk Wilayah al-Hisbah, umar bin khattab menunjuk beberapa orang al-Muhtasib, antara lain Sa’ad bin Yazid, Abdullah bin Utbah, dan Umm Asy- Syifa’ (wanita) yan disebut terakhir sebagai al-Muhtasibah untuk mengawasi para pedagang di pasar Madinah. Secara umum lembaga Wilayah al-Hisbah berlanjut hingga pada masa dinasti Umayyah (661-750), Wilayah al-Hisbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Setelah Daulah Islamiyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H), keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadla’) Demikian pula, Wilayah al-Hisbah menjadi departemen penting selama kekuasaan dinasti Fatimiyah, Ayyub, dan Utmaniyah. Di India, meski departemen Wilayah al-Hisbah yang resmi tidak ada, namun selama masa kesultanan, al-Muhtasib dan qadli sama-sama ditunjuk setiap kali ada wilayah baru yang dikuasai oleh Negara. Dinasti Moghul merasa tidak nyaman dengan adanya lembaga al-Hisbah karena rendahnya moral mereka sendiri, dan lalu mengganti al-Hisbah dengan Kotwal yang memiliki yuridiksi lebih terbatas dari pada yuridiksi al-Muhtasib.
Lembaga Wilayah al-Hisbah masih tetap populer sepanajang sejarah umat Islam, meski dinamakan berbeda-beda di berbagai tempat. Misalnya, provinsi-provinsi timur dan barat Baghdad, petugas pelaksanannya disebut al- Muhtasib, di Afrika Utara disebut Shahib al-Suq, di Turki disebut Muhtasib Aghasi dan di India disebut Kotwal. Jadi dapat penulis simpulkan bahwa Wilayah al-Hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan dalam sistem pemerintahan, yang memiliki kewenangan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.[4]
Ø  Tugas Lembaga Hisbah
Tugas dari hisba : memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-peugas hisbah.
Tugas hakim : memutuskan perkara terhadap pertengkaran-pertengkaran yang dikemukakan kepadanyadan mengharuskan orang yang kalah mengembalikan hak orang yang menang.
Tugas muhtasib (pengawas) : mengawasi berlaku tindaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun, dan terkadang-kadang muhtasib ini memberikan putusan-putusan dalam hal-hal yang perlu segera diselesaikan.[5]
Ø  Perbedaann Hisbah Dengan Amar Ma’ruf
Amar ma’ruf nahyu munka walaupun dadpat dilakukan oleh tiap-tiap pribadi muslim tetapi ada perbedaan antara muhtasib dengan orang yang bertindak atas dasar sukarela, perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikukt :
            Pertama menyuruh ma’ruf dan menjegah mungkar adalah fardhu ain bagi si muhtasib, karna dia memang di angkat untuk itu dan di beri pula gaji, sedang untuk orang yang lain merupakan fardhu kifayah.
            Kedua,si muhtasib adalh orang-orang yang di tugaskan untuk bertindak atas seseorang yang membuwat kemungkaran dan wajib member bantuan kepada orang yang meminta bantuannya. Sedang orangt yang bekerja dengan suka rela tidak di haruskan atasnya yang demikian itu, terkecuali ketika darurat.
            Ketiga muhtasib harus membahas dan meneliti kemungkaran-kemungkaran yang nyata untuk mencegah terjadinya sebagaimana dia harus memeriksa tentang perbuatan-perbuatan ma’ruf yang tidak di kerjakan oleh orang-orang yang harus mengerjakannya untuk di suruh orang itu mengerjakannya.
            Keempat,muhtasib dapat mengangkat beberapa pegawainya untuk menjalankan tugas hisbah dan diberi hak menjalankan hukuman ta’zir terhadap orang-orang yang mengerjakan kemungkaran.[6]
Ø  Pegawai-Pegawai (Petugas-Petugas) Hisbah
Ketua lembaga hisbah,harus mengangkat hisbah di seluruh daerah yang masuk kedalam ke kuasa’anya.dai duduk di masjid sedangkan wakil-wakilnya itulah yanag di perintah untuk mengamati keada’an yang berlaku di pasar-pasar dan di tempat-tempat yang harus di awasi.
orang yang di angakat menjadi muhtasib harus orng yang mempunyai kemampuan berij tihad dalam hokum-hukum agama,apbila dia menemukan seseorang berbuat salah baik dalam hal sukatan,takaran,timbangan,ataupun kicuhan,maka janganlah dia langsung menjatuhkan hukuman atas orang itu,tetapi hendaklah terlebih dahulu di suruh bertaubat dan di beri ancaman apabila orang tersebut berbuat salah lagi maka dia boleh di tak zirkan  dengan ketentuan ini nyatalah bahwa islam telah mendahului undang-undang dunia.[7]

B.     Walayah Al Madzalim

a)      Pengertian Walayah al Madzalim
Kata walayah al madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan . Sedangkan kata al madzalim adalah bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan secara terminologi, walayah al madzalim diartikan dengan kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasib yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiyaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat biasa.
Dengan kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili para pejabat negara yang meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya.[8]
b)     Sejarah Singkat Walayah al Madzalim
Walayah al madzalim sudah dikenal di Arab sebelum datangnya Islam. Hal ini merupakan wujud dari orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.
Pada masa Rasulullah, beliau sendiri yang memerankan fungsi ini, yaitu ketika terjadi kasus irigasi yang dipertentangkan antara Zubair bin Awwam dengan seseorang dari golongan anshor dalam masalah pengairan lahan. Seseorang dari golongan Anshor tersebut berkata, ”alirkan air tersebut kesini.” Namun Zubair menolaknya. Kemudian Nabi berkata, “ wahai Zubair alirkan air tersebut ke lahanmu, kemudian alirkan air tersebut ke lahan tetanggamu.” Orang Anshor tersebut marah mendengar ucapan Rasulullah seraya berkata, “wahai Rasulullah, pantas kamu mengutamakan dia, bukankah dia anak pamanmu.” Mendengar jawaban ini, memerahlah wajah Rasulullah seraya berkata, “wahai Zubair, alirkanlah air tersebut ke perutnya hingga sampai ke kedua mata kakinya.”
Pada masa Khulafaur Rasyidin, para sahabat disibukkan dengan berbagai aktivitas jihad. Sehingga kasus-kasus yang menjadi kompetensi walayah al madzalim sangat sedikit jumlahnya, karena pada waktu itu apabila para sahabat merasa kebingungan terhadap suatu permasalahan, mereka menyerahkan urusannya kepada hokum al-qadla’.
Meskipun ada indikasi-indikasi yang mengatakan bahwa walayah madzalim sudah dipraktekkan sejak masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, namun keberadaannya belum diatur secara khusus.
Walayah al madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan bani umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa Islam pertama yang membentuk lembaga al madzalim (peradilan khusus). Ia menyediakan waktu khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al madzalim. Untuk itu ia didampingi oleh hakim ibnu Idris al Azdi. Jika menemui kesulitan dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik berkonsultasi meminta pertimbangan kepada ibnu Idris al Azdi.
Pada masa Bani Abbasiyah, walayah al madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana khalifah Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan kedzaliman yang dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian jelek. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al Abbas telah mendzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian khalifah memerintahkan hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan kasus tersebut didepan sang khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, “dakwaannya benar, kebenaran telah membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman ditimpakan kepada anak sang khalifah.


c)      Kompetensi Walayah al Madzalim
Kompetensi absolut yang dimiliki oleh walayah al madzalim adalah memutuskan perkara-perkara yang tidak mampu diputuskan oleh hakim atau para hakim tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses peradilannya. Seperti kedzaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para kerabat khalifah, pegawai pemerintahan, dan hakim-hakim. Sehingga kekuasaan walayah al madzalim lebih luas dari kekuasaan Qadha.
Melihat kompetensi absolut yang cukup berani ini, maka Abu Ya’la Muhammad bin Husain al Farro’i dalam bukunya al Ahkam as Shulthoniyyah memberikan syarat-syarat untuk bisa menjadi petugas walayah al madzalim adalah mempunyai status sosial yang tinggi, ketegasan, wibawa, dan kehormatan, sedikit tama’, dan wara’. Sifat-sifat ini sangat diperlukan dalam menghadapi para terdakwa yang berpengaruh dan hakim yang tegas.
Selanjutnya, al Mawardi menerangkan kompetensi absolut yang dimiliki oleh walayah al madzalim, yaitu sebagai berikut:
1)      Ketidakadilan penguasa.
2)      Kecurangan pegawai pemerintahan.
3)      mengawasi para pegawai pemerintahan (Kuttab al Dawawin).
4)      Kedzaliman majikan.
5)      Mencegah perampasan harta,
6)      Mengawasi harta-harta wakaf.
7)      Menjalankan fungsi hakim,.
8)      Menjalankan fungsi Nadhir al Hisbah,
9)      Memelihara ibadah-ibadah yang mengandung syiar Islam.
10)  Nadhir al Madzalim juga diperbolehkan untuk memeriksa orang-orang yang bersengketa dan menetapkan hukum bagi mereka, namun fungsi ini tidak boleh keluar dari aturan-aturan yang berlaku dilembaga Qadha’.[9]
d)     Kelengkapan-Kelengkapan Walayah al-Madzalim
Untuk terselenggaranya peradilan al madzalim dengan sempurna harus dipenuhi lima hal berikut, yaitu:
1)      Adanya Advokat atau pembela.
2)      Para hakim yang bertugas untuk mengembalikan hak-hak kepada orang yang berhak, setelah melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan setelah melakukan penelitian hukum atas kasus mereka.
3)      Para ahli fiqih yang bertugas untuk membantu para hakim ketika mereka menemukan kesulitan dalam bidang hukum atau tidak mengetahui hukum syar’i yang tepat bagi permasalahan yang menjadi sumber persengketaan.
4)      Para katib (panitera) yang bertugas untuk mencatat dan mengkodifikasikan segala kejadian dan peristiwa dalam proses persidangan.
5)      Para saksi yang bertugas menjadi saksi atas hukum yang telah ditetapkan oleh hakim dan mengkukuhkan bahwa keputusan yang telah ditetapkan tidak bertentangan dengan kebenaran dan keadilan dan menyaksikan bahwa para hakim jelas-jelas menerapkan syariat Islam.
e)      Mahkamah Madzalim Yang Berhak Memberhentikan Khalifah
            Mahkamah Madzalim sajalah yang paling berhak menentukan keputusan, kalau memang keadaan khalifah telah mengalami perubahan yang bisa mengeluarkannya dari jabatan khilafah. Dia juga yang memiliki wewenang untuk memberhentikan atau memberi peringatan kepadanya.
            Hal itu dilakukan kalau terjadi salah satu dari beberapa hal yang menyebabkan diberhentikannya khalifah, sementara dalam hal ini yang berhak memberhentikannya adalah Mahkamah Madzalim. Beberapa hal tadi harus dihilangkan, di mana ia merupakan hal-hal yang harus ditetapkan, dan untuk menetapkannya harus diputuskan di hadapan seorang qadli. Karena Mahkamah Madzalimlah yang berhak memutuskan hilangnya kedzaliman-kedzaliman tersebut, di mana qadli Madzalimlah yang memiliki wewenang untuk menetapkan kedzaliman serta keputusan terhadapnya, maka Mahkamah Madzalim jugalah yang berhak menentukan keputusan apakah salah satu keadaan di atas terjadi, atau tidak. Termasuk dialah yang berhak menentukan pemberhentian khalifah.
            Hanya saja, kalau khalifah mengalami salah satu keadaan ini, lalu dia mengundurkan diri, maka masalahnya selesai. Sedangkan kalau kaum muslimin berpendapat, bahwa dia wajib diberhentikan karena keadaan itu telah terjadi maka keputusannya harus dikembalikan kepada qadli. Berdasarkan firman Allah SWT :
"Jika kalian berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya."
            Yaitu, kalau kalian berselisih dengan pemimpin kalian, di mana perselisihan ini merupakan perselisihan antara umat dengan pemimpin, maka mereka harus mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya itu berarti mereka harus mengembalikannya kepada qadli, yaitu Mahkamah Madzalim.
Ø  Kedudukan Wilayah Madzalim
            Wilayah madzalim adalah suatu kekuasa’an dalam bidang pengadilan,yang lebih tinggi dari pada kekuasa’an hakim dan kekuasa’an muhtasib lembaga ini memriksa perkara-perkara penganiaya,an yang di lakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa Sebagian dari perkara-perkara yang di periksa dari lembaga ini adalah perkara-perkara yang di ajukan oleh seseorang yang teraniaya  dan sebagainya pula tidak memrlukan pengaduan dari yang bersangkutan tetapi memmang jadi wewenang lembaga ini untuk memeriksanya[10].
Ø  Tuigas-Tugas Wilayah Madzalim
            Almawardi didalam al-ahkamu al-sulthaniyah menerangkan bahwa perkara-perkara yyang di periksa oleh lembaga ini ada 10 macam:
1.      Penganiaya’an para penguasa
2.      Kecurangan pegawai-pegawai yang di tugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekaya’an Negara yang laen
3.      Mengontrol atau mengawasi keada’an para pejabat
4.      Pengaduan yang di ajukan oleh tentara yang di gaji lantaran gaji mereka di kurangi ataupun di lambatkan
5.      Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang di rampas penguasa yang zalim
6.      Meperhatikan harta-harta wekof
7.      Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat di laksanakan oleh hakim sendiri lantaran orang yang di jatuhkan hukuman atsnya dalah orang-orang yang tinggi derajatnya
8.      Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat di laksanakan oleh petugas hisbah
9.      Memlihara hak-hak allah yaitu ibadah ibadah yang nyata seperti jum’at,hari raya,haji dan jihat
10.  Menyelesaikan perkara perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak pihak yang bersangkutan 
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
            Untuk lebih menjaga sebuah mekanisme pasar sesuai dengan fungsinya dan memastikan bahwa pasar berfungsi sebagaimana yang diinginkan Islam, dimana kemashlahatan terdistribusi secara maksimal, kesejahteraan dirasakan setiap jiwa yang ada dibawah sistem tersebut, maka diperlukan sebuah pengawasan yang baik yaitu direpresentasikan dengan adanya lembaga pengawasan pasar yang dikenal dengan al-Hisbah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa fungsi dari al-Hisbah ini telah diaplikasikan di Indonesia namun lembaga ini tidak berdiri secara independent, tetapi tersebar dalam beberapa lembaga seperti LPPOM-MUI, kepolisian, LSM seperti YLKI dan lembaga-lembaga lainnya. Karena memang asas dari pemerintahan Indonesia itu bukan berasaskan Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Tengku Muhammad hasbi ash shiddieqy, peradilan dan hokum acara islam,. PT. pustaka rizki putra, semarang. 1997
Oyo sunaryono muhlas, perkembangan peradilan islam., PT/ gradia Indonesia. Bogor, 2011.





kalau mau yang lengkap dengan makalah dan powerpointnya langsung sedot di bawah ini ok ...
download makalah di sini 
download powerpoint di sini 
okelah sekian dulu ....ya teman-teman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar